Suaraeradigital.id-Selasa, 30 Juli 2019-Tahun 2019 memiliki makna strategis bagi Indonesia karena pada tahun ini digelar perhelatan lima tahunan, yakni pemilihan umum (pemilu). Perhelatan ini tidak hanya diharapkan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi, terutama melalui peningkatan konsumsi baik pemerintah maupun swasta, tetapi juga menjadi penentu arah kebijakan ekonomi dalam Iima tahun ke depan. Sayangnya, pada tahun ini ekonomi dunia masih belum bersahabat, terutama dengan kecenderungan perlambatan ekonomi dan perang dagang. Bahkan perang dagang antara dua negara adidaya, Amerika Serikat dan Tiongkok, kembali memanas pada paruh pertama tahun ini yang kembali berimplikasi pada pergeseran keseimbangan dan intensitas perdagangan dunia, yang tentunya juga berdampak pada Indonesia. Di sisi lain, investasi pun turut mengalami perlambatan, tidak hanya karena perlambatan global, tetapi juga karena perhelatan pemilu yang secara historis hampir selalu menahan laju investasi. Pasalnya, pelaku usaha dan investor umumnya menahan keputusan-keputusan strategis dalam bisnis termasuk untuk berinvestasi, sampai dengan terpilihnya pemimpin atau bahkan kabinet yang baru.
Pada November 2018 Ialu, CORE Indonesia telah memperkirakan bahwa pertumbuhan ekonomi pada tahun ini akan berada di kisaran 5,1-5,2%. Setelah mencermati perkembangan sepanjang paruh pertama 2019, CORE Indonesia meyakini bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini akan Iebih mendekati angka 5,1%. Artinya, pertumbuhan ekonomi tahun ini akan sedikit Iebih rendah dibanding tahun lalu yang mencapai 5,17%. Potensi peningkatan pertumbuhan ekonomi setelah 2019 memang terbuka lebar, terlebih dengan usainya Pemilu yang memberikan kepastian kepemimpinan nasional untuk Iima tahun ke depan. Meski demikian, sejauh mana perbaikan ekonomi tersebut masih akan sangat ditentukan beberapa faktor, selain bergantung pada siapa yang akan terpilih dalam jajaran kabinet khususnya tim ekonomi pada Oktober nanti, juga akan bergantung pada keseriusan presiden dan tim ekonominya menjalankan agenda ekonominya, serta sejauh mana konsistensi dalam mengimplementasikan kebijakan-kebijakan tersebut.
Tekanan Global
Kondisi perekonomian dunia hingga akhir tahun 2019 diperkirakan akan tumbuh Iebih lambat dibanding tahun 2018. Sejumlah badan internasional termasuk IMF melakukan koreksi tajam terhadap pertumbuhan ekonomi dunia di tahun 2019 ini. Pada Oktober tahun Ialu IMF sebenarnya masih optimis ekonomi dunia akan tumbuh Iebih cepat dari 3,6% pada 2018 menjadi 3,94% di tahun ini. Pada April 2019, IMF mengoreksi pertumbuhan ekonomi global menjadi hanya 3,33%.
Perlambatan ini terutama dipicu oleh melambatnya pertumbuhan tiga ekonomi terbesar, yakni Amerika Serikat (AS), Tiongkok dan Uni Eropa. Pertumbuhan ekonomi AS diprediksi melambat dari 2,86% pada 2018 menjadi 2,33% tahun ini, sementara ekonomi Tiongkok dan Uni Eropa diperkirakan hanya akan tumbuh masing-masing 6,27% dan 1,56% di tahun ini, Iebih rendah dibanding tahun 2018 yang mencapai 6,57% dan 2,13%.
Sejalan dengan perlambatan pertumbuhan PDB, volume perdagangan dunia diperkirakan juga akan tumbuh lebih lamban tahun ini. Melambannya perdagangan dunia ini tidak hanya dipicu oleh perlambatan ekspor dan lmpor dua negara yang sedang terlibat perang dagang, yakni AS dan Tiongkok, tetapi juga negara-negara Iain termasuk Jepang. Meski demikian, IMF memprediksi volume perdagangan Uni Eropa tahun ini masih akan tumbuh lebih tinggi dibandingkan tahun 2018.
Melemahnva permintaan dunia juga berakibat pada penurunan harga komodltas, termasuk minyak sawit dan batubara yang merupakan andalan ekspor Indonesia. Harga rata-mta minyak sawit pada bulan Juni 2019 yang hanya 552,19 dollar AS per metrik ton, atau kurang dari separuh horga rata-rata Januari 2018 yang mencapai 1265 dollar AS per metrik ton. Demlkian pula harga rata-rala batubara pada bulan Juni 2019 sebesar 72,49 dollar AS jauh berada dl bawah harga rata-rata Juli 2018 yang mencapai 119,57 dollar AS per metrik ton.
Lemahnya permintaan global juga berdampak pada harga minyak dunia yang secara rata-rata dari Januari hingga Juni 2019 masih lebih rendah dibanding rerata harga pada periode yang sama tahun lalu. Meski demikian, pelemahan harga minyak ini masih tertahan oleh kebijakan production cut yang dilakukan oleh negara-negara OPEC dan sekutunya. Disamping itu, pergerakan harga minyak juga memiliki ketidakpastian yang lebih tinggi dibanding komoditas lainnya karena banyak dipengaruhi oleh faktor geopolitik, seperti embargo AS terhadap Iran, yang sangat dinamis dan unpredictable. Oleh sebab itu, harga minyak dunia masih memiliki peluang untuk kembali meningkat walaupun permintaan global melemah, dan ini akan membawa dampak buruk pada ekonomi negara-negara net eksportir minyak seperti Indonesia.
Ekonomi Domestik Pasca Pemilu
Pertumbuhan ekonomi domestik tahun ini akan lebih banyak bergantung pada stabilitas daya beli dan konsumsi masyarakat dan dorongan belanja pemerintah. Pasalnya, perlambatan ekonomi dunia akan lebih banyak menekan dua sumber pertumbuhan lainnya, yakni investasi dan ekspor. Penanaman modal asing bahkan sudah mengalami kontraksi sejak tahun 2018 lalu. Apalagi pada tahun-tahun politik dimana diselenggarakan pemilihan umum dan adanya transisi periode kepemerintahan seperti tahun 2019 ini, pelaku bisnis dan investor cenderung wait and see dan menahan keputusan-keputusan strategis, khususnya untuk berinvestasi. Faktor tahun politik ini pula yang menyebabkan pertumbuhan investasi akan lebih lambat.
Pertumbuhan penanaman modal tetap bruto (PMTB) pada triwulan I 2019 melemah secara year on year menjadi 5,03%, padahal pada triwulan I 2018 mampu mencapai 7,94%. Pertumbuhan penanaman modal asing (PMA) masih mengalami kontraksi sebesar -0,9% pada triwulan I 2019, namun kondisi ini masih Iebih baik dibanding kondisi pada tiga triwulan sebelumnya yang mengalami kontraksi hingga 12.9% (02 2018), -20,2% (Q3 2018), -11,6% (Q4 2018). Sementara itu, pertumbuhan penanaman modal dalam negeri (PMDN) yang relatif kuat pada tahun 2018, justru mengalami sedikit pelemahan di triwulan pertama 2019 menjadi 14,1%.
Tertahannya Iaju pertumbuhan investasi sebenarnya tidak hanya dipengaruhi oleh faktor pemilu dan perlambatan ekonomi dunia, tetapi juga karena lemahnya iklim usaha sektor industri manufaktur di dalam negeri. lni terlihat dari pertumbuhan investasi di sektor manufaktur (sekunder) yang secara persisten mengalami kontraksi dalam beberapa tahun terakhir hingga triwulan pertama 2019, padahal investasi di sektor jasa (tersier) dan primer malah mengalami ekspansi. Penurunan investasi pada sektor manufaktur tersebut tidak hanya terjadi pada PMA, tetapi juga PMDN.
Dengan melakukan pembenahan secara serius dan segera untuk memperbaiki iklim investasi di sektor manufaktur, Indonesia sebenarnya masih berpeluang untuk menarik investasi manufaktur dari tren relokasi industri dari Tiongkok yang diakibatkan oleh perang dagang. Saat ini peluang tersebut memang masih lebih banyak dimanfaatkan oleh negara-negara ASEAN lain, khususnya Vietnam. Meski demikian, semakin maraknya investasi manufaktur yang masuk ke Vietnam akhir-akhir ini mulai
menunjukkan gejala kejenuhan, baik dari aspek eflsiensi transportasi logistik maupun persaingan dalam mendapatkan tenaga kerja terampil. Akibatnya, sebagian pelaku industri yang selama ini masih berbasis di Tiongkok mulai menggeser opsi pilihan untuk relokasi ke negara-negara ASEAN lain selain Vietnam.
Di sisi lain, penyelenggaraan pemilu juga mendorong peningkatan konsumsi swasta dan belanja pemerintah yang pada gilirannya memacu pertumbuhan ekonomi. Hal ini di antaranya terlihat dari peningkatan indeks penjualan riil secara signifikan yang terjadi sejak triwulan kedua tahun 2018. Pertumbuhan indeks penjualan riil melonjak secara konsisten dan 0,73% pada triwulan pertama 2018 hingga mencapai puncaknya 8,8% pada triwulan pertama 2019. Demikian pula proporsi pengeluaran rumah tangga untuk konsumsi secara konsisten meningkat sejak awal tahun lalu hingga mencapai 69,4% pada Mei tahun ini. Sebaliknya proporsi untuk tabungan cenderung turun hingga Mei 2019 hanya sebesar 19,5%.
Meski demikian, efek pemilu terhadap pertumbuhan konsumsi rumah tangga nampaknya cenderung terbatas sampai pada semester pertama saja, khususnya triwulan pertama. Setelah mencapai angka 8,8% pada triwulan pertama, pertumbuhan indeks penjualan riil kembali melambat menjadi 5,53% pada triwulan kedua 2019. Penjualan kendaraan bermotor bahkan cenderung melemah pada tahun 2019, khususnya pertumbuhan penjualan sepeda motor yang mengalami kontraksi secara persisten sejak awal tahun.
Dari sisi perdagangan internasional, perlambatan permintaan globaI menekan pertumbuhan ekspor maupun impor di tahun ini. Secara year on year , ekspor terkontraksi -8,8% pada semester pertama 2019, padahal pada semester pertama 2018 mampu tumbuh hingga 10%. lmpor juga mengalami kontraksi -7,6% pada semester awal 2019, jauh lebih rendah dibanding semester yang sama tahun 2018 yang tumbuh hingga 23%.
Dengan kecenderungan tersebut, defisit neraca perdagangan masih akan menahan laju pertumbuhan ekonomi Indonesia, sebagaimana yang telah diprediksikan pada CORE Economic Outlook akhir tahun lalu. Defisit perdagangan pada semester pertama 2019 memang lebih besar dibanding semester yang sama tahun lalu, yakni 2 miliar dolar AS berbanding 1,1 miliar dolar AS. Meski demikian, CORE Indonesia memperkirakan laju pertumbuhan defisit perdagangan pada semester kedua tahun ini akan lebih lambat dibanding semester kedua tahun 2018 yang mencapai angka fantastis 7,5 miliar dolar AS. Pasalnya, kontraksi impor secara year on year pada semester kedua diprediksi akan lebih signifikan dibanding kontraksi pada ekspor. lni di antaranya disebabkan oIeh implementasi kebijakan-kebijakan pemerintah yang meningkatkan kontrol terhadap barang impor sejak akhir tahun lalu. Salah satunya adalah kembali ditingkatkannya pengawasan terhadap impor besi dan baja melalui revisi terhadap kebijakan post border di akhir tahun 2018. Dampaknya terlihat pada penurunan cukup drastis impor besi baja yang terjadi sejak bulan Februari 2019. Sebagai konsekuensinya, CORE memperkirakan defisit perdagangan sampai akhir tahun 2019 akan lebih rendah dibanding defisit di tahun 2018.
Meskipun diprediksi lebih baik dibanding tahun 2018, sayangnya perbaikan kinerja perdagangan ini bukan disumbangkan oleh peningkatan ekspor. Ekspor pada semester kedua tahun ini bahkan diperkirakan akan terus mengalami penurunan. Harga komoditas yang semakin tertekan pada tahun ini, khususnya komoditas andalan Indonesia seperti sawit dan batubara, menjadh salah satu penyebab utama kontraksi pertumbuhan ekspor Indonesia. Memang perang dagang antara AS dan Tiongkok juga membuka peluang bagi sejumlah negara untuk meningkatkan penetrasi ekspor ke kedua negara tersebut. Sayangnya, Indonesia belum mampu memanfaatkan peluang ekspor tersebut dengan baik. Sepanjang paruh pertama 2019, ekspor Indonesia ke AS maupun Tiongkok masih mengalami penurunan. Sebaliknya, sejumlah negara seperti Vietnam justru menikmati peningkatan ekspor secara sangat signifikan ke pasar AS. Vietnam mampu mengambil sebagian dari pangsa pasar eksporTiongkok di AS yang mengalami penurunan tajam akibat perang dagang.
Memacu Stimulus Fiskal
Belanja Pemerintah pada semester l-2019 dan sepanjang tahun berpotensi tumbuh di kisaran 5%-6%. Penumbuhan ini ditopang lebih tingginya realisasi pertumbuhan belanja pegawai dan belanja barang. Pertumbuhan realisasi belanja pegawai mencapai 14% angka ini lebih tinggi dibandingkan tahun lalu yang mencapai 11%. Sementara realisasi belanja barang sampai dengan Januari-Juli 2019 mencapai 17% lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan yang sama perlode yang sama yang hanya
tumbuh 10%.
Sayangnya realisasi belanja modal di semester-l 2019 masih mengalami kontraksi pertumbuhan.
Pertumbuhan tahunan realisasi belanja modal mengalami kontraksl hingga -6% dari Rp 45 triliun pada semester I 2018 menjadi Rp 34 triliun pada semesterr I 2019. Begitu pula, dibandingkan dengan target, pencapaiannya hanya 18% lebih rendah dibandingkan capaian realisasi belanja modal pada semester I 2018 mencapai 20%. Rendahnya pertumbuhan belanja modal perlu diantisipasi mengingat belanja modal merupakan belanja yang dapat memberikan efek stimulus lebih besar terhadap pertumbuhan ekonomi.
Pertumbuhan belanja pegawai tidak terlepas dari beberapa langkah pemerintah seperti kenaikan gaji aparatur pemerintah pada April tahun ini pemerintah mulai menaikkan gaji seluruh aparatur pemerintah, melalui PP no 15 tahun tahun 2019 semua pegawai Aparatur Negara mendapat kenaikan gaji sebesar 5%. Disamping itu kenaikan belanja pegawai juga ditopang oleh pembagian Tunjangan hari raya, dan mulai dibagikannya gaji ke-13 pada ASN di awalJuli ini. Sementara pertumbuhan belanja barang disebabkan mulai disalurkannya realisasi belanja untuk mendukung pelaksanaan pemilu 2019.
Namun di sisi lain tren kenaikan belanja negara tidak bisa diimbangi oleh pertumbuhan penerimaan negara. Penerimaan negara hanya tumbuh 8% lebih rendah dibandingkan pertumbuhan tahun lalu yang mencapai 16%. Rendahnya pertumbuhan penerimaan negara tidak terlepas dari rendahnya kinerja realisasi perpajakan yang menyumbang 80% dari total penerimaan negara. Sampai dengan semester 1-2019 pertumbuhan realisasi penerimaan perpajakan hanya tumbuh 4% jauh lebih rendah dibandingkan pertumbuhan pada periode yang sama tahun lalu yang dapat tumbuh hingga 16%,
Rendahnya penerimaan perpajakan tidak terlepas dari rendahnya penerimaan pajak dari sektor manufaktur yang merupakan sektor terbesar penyumbang perpajakan. Sektor yang menyumbang 30% dari total setoran pajak ini sampai dengan Juni 2019 mengalami kontraksi pertumbuhan -2,6% padahal tahun lalu pertumbuhan pajak dari sektor manufaktur dapat tumbuh hingga 13%. Melambatnya setoran pajak dari sektor manufaktur tidak terlepas dari kinerja industri manfaktur yang sampal dengan Q1-2019 tumbuh 3,91% lebih rendah dibandingkan Q1-2018 yang mencapai 4,96%.
Dengan pola diatas. kami prediksi penerimaan perpajakan sampal dengan akhir tahun akan berada dikisaran 1.620-1.634 triliun rupiah atau sekitar 92% dari target APBN yang mencapai 1.786 triliun, dengan demiklan potensi terjadinya shortfall perpajakan sampai dengan akhir tahun 2019 kami perkirakan berada di kisaran 150-165 trillun rupiah.
Adapun untuk penerimaan non-pajak pertumbuhan realisasi sampai dengan Juni mencapai 18% atau sedikit lebih rendah dibandingkan pertumbuhan tahun Ialu di periode yang sama dapat mencapai 19%. Namun apabila dilihat lebih dalam terjadinya kontraksi realisasi penerimaan non pajak migas dan non-migas. Penerimaan migas terkontraksi hingga -7% jauh dibawah pertumbuhan tahun lalu yang mencapai 48%, sama halnya dengan pertumbuhan non-migas yang mmbuh -1,% lebih rendah dibandingkan pertumbuhan tahun Ialu yang mencapai 29%. Rendahnya penerimaan non-pajak tidak terlepas dari rendahnya harga minyak, sampai dengan semester l-2019 ICP rata-rata mencapai 63 USD/barel lebih rendah dibandingkan tahun Ialu yang dapat mencnpal 66 USD/barel. Sama halnya dengan harga batubara yang sampal dengan semester 1-2019 rata-rata mencapai USD 87/ton dibawah harga rata-rata batubara tahun Ialu yang mencapal USD 96/ton.
Secara keseluruhan, defisit anggaran berpotensi melebar hingga 300 triliun rupiah, dengan asumsi realisasi belanja berada di kisaran 2.800-2.300 triliun rupiah maka defisit anggaran terhadap Produk Domestik Brute (PDB) akan berada di kisaran 2,0%-2,1% terhadap PDB, angka ini leblh tinggi dibandingkan target defisit terhadap PDB dalam APBN 2019 yang dipatok 1.8%.
Melebarnya defisit anggaran tentu akan berdampak pada akan semakin gencarnya pemerintah dalam menerbitkan surat utang. Sampai dengan bulan Juni saja pemerintah telah menerima penawaran surat utang hingga 531 triliun rupiah tumbuh 17% dari penawaran tahun lalu yang mencapai 453 triliun rupiah. Hal ini diikuti dengan bertambahnya minat asing pada surat utang Indonesia. Sampai dengan akhir Juni kepemilikan asing pada surat utang Indonesia mencapai 39% meningkat dibandingkan kepemilikan asing pada tahun 2017 yang mencapai 37%, bertambahnya kepemilikan asing juga bisa berdampak pada rentannya surat utang pada sudden capital outflow. Ha! ini akan berdampak salah satunya pada pelemahan nilai tukar. Pada Oktober 2018 lalu ketika terjadi capital outlflow pada surat utang, rupiah menjadi salah satu mata uang yang mengalami pelemahan paling dalam.
yang sampal dengan Q1-2019 tumbuh 3,91% lebih rendah dibandingkan Q1-2018 yang mencapai 4,96%.
Dengan pola diatas. kami prediksi penerimaan perpajakan sampal dengan akhir tahun akan berada dikisaran 1.620-1.634 triliun rupiah atau sekitar 92% dari target APBN yang mencapai 1.786 triliun, dengan demiklan potensi terjadinya shortfall perpajakan sampai dengan akhir tahun 2019 kami perkirakan berada di kisaran 150-165 trillun rupiah.
Adapun untuk penerimaan non-pajak pertumbuhan realisasi sampai dengan Juni mencapai 18% atau sedikit lebih rendah dibandingkan pertumbuhan tahun Ialu di periode yang sama dapat mencapai 19%. Namun apabila dilihat lebih dalam terjadinya kontraksi realisasi penerimaan non pajak migas dan non-migas. Penerimaan migas terkontraksi hingga -7% jauh dibawah pertumbuhan tahun lalu yang mencapai 48%, sama halnya dengan pertumbuhan non-migas yang mmbuh -1,% lebih rendah dibandingkan pertumbuhan tahun Ialu yang mencapai 29%. Rendahnya penerimaan non-pajak tidak terlepas dari rendahnya harga minyak, sampai dengan semester l-2019 ICP rata-rata mencapai 63 USD/barel lebih rendah dibandingkan tahun Ialu yang dapat mencnpal 66 USD/barel. Sama halnya dengan harga batubara yang sampal dengan semester 1-2019 rata-rata mencapai USD 87/ton dibawah harga rata-rata batubara tahun Ialu yang mencapal USD 96/ton.
Secara keseluruhan, defisit anggaran berpotensi melebar hingga 300 triliun rupiah, dengan asumsi realisasi belanja berada di kisaran 2.800-2.300 triliun rupiah maka defisit anggaran terhadap Produk Domestik Brute (PDB) akan berada di kisaran 2,0%-2,1% terhadap PDB, angka ini leblh tinggi dibandingkan target defisit terhadap PDB dalam APBN 2019 yang dipatok 1.8%.
Melebarnya defisit anggaran tentu akan berdampak pada akan semakin gencarnya pemerintah dalam menerbitkan surat utang. Sampai dengan bulan Juni saja pemerintah telah menerima penawaran surat utang hingga 531 triliun rupiah tumbuh 17% dari penawaran tahun lalu yang mencapai 453 triliun rupiah. Hal ini diikuti dengan bertambahnya minat asing pada surat utang Indonesia. Sampai dengan akhir Juni kepemilikan asing pada surat utang Indonesia mencapai 39% meningkat dibandingkan kepemilikan asing pada tahun 2017 yang mencapai 37%, bertambahnya kepemilikan asing juga bisa berdampak pada rentannya surat utang pada sudden capital outflow. Ha! ini akan berdampak salah satunya pada pelemahan nilai tukar. Pada Oktober 2018 lalu ketika terjadi capital outlflow pada surat utang, rupiah menjadi salah satu mata uang yang mengalami pelemahan paling dalam.
sejak tahun 2005, terutama untuk data survei bulan Februari. Selama periode Februari 2005 sampai Februari 2018, tingkat pengangguran terbuka bergerak naik turun di rentang angka 5,13 (Februari 2018) hingga 10,45 persen (Februarl 2006). Namun, tingkat pengangguran terbuka untuk usia produktif 25-29 tahun justru meningkat, melanjutkan peningkatan yang juga terjadi pada Februari tahun lalu.
Persentase tenaga kerja yang bakerja pada sektor formal pada Februari 2019 naik menjadi 42,73 persen. Namun, khusus untuk wilayah perkotaan, persentase tenaga kerja yang bekeria pada sektor formal justru mengalami penurunan menjadi 69,46 persen.
Tingkat kemiskinan mengalami penurunan menjadi 9,41 persen pada Maret 2019. Penurunan tersebut merupakan lanjutan dari tren yang telah berlangsung sejak September 2015. Hanya saja, jumlah penduduk rentan miskin, khususnya di perkotaan, justru meningkat lebih besar dari pengurangan jumlah penduduk miskin. Hal ini mengindikasikan bahwa sebagian penduduk mengalaml penurunan kesejahteraan, dari yang semula tidak termasuk kategori rentan miskin, menjadl rentan miskin.
(deva)