Suaraeradigital.id Jakarta (02/9/19)-Memperingati Hari Kemanusiaan Internasional, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) bekerjasama dengan United Nations Population Fund (UNFPA) dan UN Women menyelenggarakan acara Seminar “Perempuan dalam Kemanusiaan.” Seminar ini merupakan platform pemaparan hasil studi dan kajian dari berbagai temuan dan persoalan yang dialami perempuan penyintas bencana di Sulawesi Tengah, mulai dari masa tanggap darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi program.

“Acara ini bertujuan untuk memperkuat koordinasi dan kesiapsiagaan baik pemerintah, mitra pelaksana, dan masyarakat dalam penanganan bencana yang berperspektif gender; melindungi perempuan dan anak dari kekerasan berbasis gender (KBG) dalam bencana; serta meningkatkan partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan pada fase tanggap darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi,” ungkap Asisten Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan dalam Situasi Darurat dan Kondisi Khusus, Nyimas Aliah dalam sambutannya pada seminar yang dihadiri sekitar 100 peserta perwakilan berbagai elemen pemerintah, mitra pembangunan, LSM dan akademisi ini.

Nyimas juga menyatakan baik perempuan maupun laki-laki, sama-sama rentan berpotensi menjadi korban kekerasan berbasis gender dalam situasi bencana. Namun, sering kali jumlah korban perempuan dan anak perempuan cenderung lebih besar dibandingkan korban laki-laki.
Banyak perempuan yang mendapat perlakuan diskriminatif, ketidakadilan dan ketimpangan kuasa relasi, hal inilah yang menyebabkan mengapa perempuan rentan dalam kondisi pasca bencana.

“Untuk itu, pencegahan dan penanganan kekerasan pada situasi bencana membutuhkan pendekatan multi sektor. Kita harus melakukan strategi bersama melalui tindakan/intervensi penting, dengan merinci siapa yang bertanggung jawab, dan sumber-sumber penting yang dapat mendukung pelaksanaan intervensi tersebut,” tegas Nyimas.

UNFPA Koordinator untuk Gender-Based Violence in Emergencies, Ita Fatia Nadia mengungkapkan bahwa hasil temuan dari Penilaian Cepat Kekerasan Berbasis Gender (KBG) di Masa Darurat pada November 2018 – Januari 2019 di Palu, Sigi Donggala, Sulawesi Tengah
menunjukkan ada 57 kasus kekerasan berbasis gender berupa penganiayaan fisik dan seksual termasuk pemerkosaan, yang dilaporkan kepada RRP/WFS selama periode penilaian cepat KBG ini. 57 kasus tersebut antara lain yaitu 31 kasus KDRT, 8 perkosaan, 12 pelecehan seksual, 5 eksploitasi seksual dan 1 kekerasan berbasis gender.
“Untuk menekan kerentanan perempuan terhadap KBG pada situasi pasca bencana, perlu upaya pencegahan dan penanganan sejak awal masa darurat bencana. Melalui Ruang Ramah Perempuan/Women Friendly Space (RRP/WFS) diharapkan dapat menjadi wadah perlindungan hak perempuan, melalui penguatan kesadaran publik tentang hak perempuan, kesehatan dan pelibatan perempuan melalui diskusi dan sesi edukasi/informasi, menyelenggarakan pelatihan lifeskill, livelihood, serta pencegahan dan penanganan KBG.” tutur Ita.

Selain itu, Ita menambahkan para penyintas KBG dan perempuan terdampak bencana juga membutuhkan berbagai dukungan seperti psikososial dan konseling. RRP dapat memfasilitasi kegiatan tersebut, sekaligus menjadi tempat pelaporan pengaduan, pencatatan dan penanganan kasus KBG, termasuk rujukan bagi penyintas kepada berbagai layanan life-saving multisektor yang komprehensif dan memadai.

“RRP dapat memperkuat mekanisme pencegahan dan penanganan KBG di komunitas yang terhubung dengan KBG resmi di tingkat provinsi dan kabupaten. Untuk itu, diperlukan komitmen bersama dalam mendukung keberadaan RRP/WFS serta mendorong penguatan kapasitas di fase rehabilitasi dan rekonstruksi dan pembangunan selanjutnya,” jelas Ita.

Hasil temuan umum dalam kajian kebutuhan berdasakan gender (Gender Needs Assessment) populasi terdampak di Sulawesi Tengah pada Februari-Mei 2019, menunjukan bahwa peran perempuan dalam menjaga ketahanan komunitas memiliki kemampuan yang setara dengan laki-laki dalam situasi bencana. Jika kita dapat memastikan kepemimpinan, pengetahuan, serta pengalaman perempuan masuk dalam pemulihan dan penanganan bencana, maka inisiatif yang dihasilkan akan lebih efektif.” Tutur Programme Specialist UN Women, Lily Puspasari

Lily menyampaikan bahwa diperlukan respon berbagai pihak baik pemerintah maupun lembaga non pemerintah dalam penguatan, percepatan dan peningkatan peran masing-masing, demi menjamin kebutuhan beberapa kelompok perempuan terdampak tersebut.

Di sisi lain, Sekretaris Daerah Provinsi Sulawesi Tengah, Moh Hidayat Lamakarete mengungkapkan bahwa Pemerintah Provinsi Sulteng telah merangkul seluruh komponen masyarakat, lembaga, dan jejaring kerja kemanusiaan di Sulawesi Tengah dalam melindungi perempuan dan anak, salah satunya dengan membentuk Sub Klaster Perlindungan Hak Perempuan.

“Pemerintah Provinsi juga telah mengeluarkan Peraturan Daerah No. 3 Tahun 2019 mengenai Penyelenggaraan Perlindungan Perempuan dan Anak dari Tindak Kekerasan dan Surat Keputusan Gubernur Sulawesi Tengah No. 263/197/DP3A-G35/2019 Tentang Perlindungan Hak Perempuan dan Penanggulangan Bencana di Provinsi Sulawesi Tengah. Kami juga telah membentuk salah satu strategi utama yaitu melibatkan laki-laki dalam menurunkan angka kekerasan terhadap perempuan,” pungkas Moh Hidayat.
( Deva)

You may also like

Leave a Comment