Suaraeradigital.id Peaceful Papua Initiative (PPl)-SETARA Institute Jakarta, 12 September 2019
1. Rasisme adalah paham atau doktrin yang menyatakan bahwa perbedaan biologis yang melekat pada ras manusia menentukan capaian budaya atau individu. Sistem ini kemudian mendorong superioritas suatu ras atas ras lain yang dianggap lebih rendah. Dalam praktik, perbedaan biologis ini kemudian menjadi instrumen pembeda yang mewujud dalam bentuk tindakan intoleransi, diskriminasi dan kekerasan.
2. Dalam 20 tahun terakhir, republik ini telah mencatat praktik diskriminasi dan kekerasan terhadap etnis Tionghoa pada 1998 dan warga Papua, yang berasal dari ras Melanesia. Dua peristiwa itu, bukan hanya membukukan praktik dehumanisasi terhadap etnis Tionghoa dan Papua, tetapi juga menimbulkan kekerasan, perampasan hak, dan trauma berkepanjangan. Peristiwa yang baru saja menimpa warga Papua di Surabaya (16/8) bahkan menimbulkan ketegangan baru di tengah warga Papua, yang hingga kini belum teratasi.
3. SETARA Institute menentang dehumanisasi terhadap masyarakat Papua yang hadir akibat pelanggengan rasisme dan stigmatisasi. Pengakuan atas hak yang melekat pada mereka sebagai manusia berada di titik rawan dan rapuh sebagaimana ditunjukkan dengan frekuensi insiden kekerasan terhadap masyarakat Papua yang tinggi sehingga melanggar kebebasan berekspresi dan menyatakan pendapat, hak atas rasa aman, dan hak berpindah. Pelanggaran HAM dan kebebasan masyarakat Papua menjadi catatan buruk berkelanjutan karena kegagalan negara mencari solusi berkeadilan di Papua.
4. Pengalaman kekerasan berbasis ras pada 1998 telah meyakinkan pemerintah Indonesia untuk membentuk regulasi yang menjamin dan memastikan kesetaraan ras dan etnis dengan identitas tunggal: bangsa Indonesia. Basis historis kesatuan Indonesia yang dibentuk dari keragaman suku, ras dan agama ini yang dalam banyak episode selalu terkoyak dan menghadapi ujian. Selain jaminan kesetaraan di dalam Konstitusi Fil, pada Oktober 2008, Indonesia telah memiliki sebuah jaminan legal yang menjadi landasan bagi penghapusan diskriminasi ras dan etnis, melalui UU No. 40/ 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.
5. UU ini telah menegaskan keberlakuan UU No. 29/1999 tentang Ratifikasi Konvensi Penghapusan Diskriminasi Fiasial, sebagai hukum domestik Indonesia. Dengan UU ini setiap praktik diskriminasi dapat dikategorikan sebagai tindakan kriminal. UU ini telah menjadi preseden hukum baru dalam disiplin hukum Indonesia, di mana tindakan diskriminasi yang sebelumnya tidak dianggap sebagai sebuah tindakan kriminal, saat ini bisa dipersoalkan secara hukum (pidana). Berdasarkan UU ini pula, institusi Polri telah menjerat sejumlah orang yang melakukan tindak pidana diskriminasi ras di Surabaya (16/8) lalu.
6. Stigmatisasi yang mengendap di banyak benak warga dalam bentuk ketidakbersediaan berinteraksl dengan warga yang beberda ras adalah bentuk intoleransi pasif yang selama ini penghakimannya diletakkan pada domain moralitas sosial. Padahal, jika endapan itu memuncak, maka ekspresi diskriminasi dan persekusi bisa terjadi sebagaimana dialami oleh etnis Tionghoa dan warga Papua, Oleh karena itu, mainstreaming toleransi harus menjadi kebutuhan kita menjaga
kesatuan republik. Sebagai sebuah nilai imperatif demokrasi, praktik toleransi harus terus digelorakan untuk memperkuat demokrasi yang sedang tumbuh di Indonesia.
7. Persekusi rasial yang dialami oleh mahasiswa Papua di Surabaya menggambarkan bahwa kerja advokasi promosi toleransl dan ketersediaan UU Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis beium menjadl lamlnan mengikis endapan rasisme sejumlah warga dan sejumiah aparat negara. Peran pencegahan ini yang tampaknya kosong dan tidak menjadi kerja berkelanjutan.
8. Komnas HAM, yang melalui Pasal 8 UU 40/2008 diberi mandat melakukan pemantauan. penilaian kebijakan, pencarian fakta terkait diskriminasi ras dan etnis serta menyajikan rekomendasi bagi otoritas negara, tampaknya belum memilik! desain kerja yang sistematis dan berkelanjutan, sehingga potensi praktik diskriminasi akan selalu muncul dan berulang. Padahal, dalam penyelesaian perkara diskriminasi ras dan etnis adanya jaminan ketidakberulangan (guarantees of non repetition) adalah bagian inheren dari resolusi sebuah persitiwa diskriminasi.
9. SETARA Institute mendorong agar peristiwa yang dialami sejumlah mahasiswa Papua dan warga Papua, semestinya menjadi momentum untuk memperkuat langkah penghapusan diskriminasi ras dan etnis secara berkelanjutan atas semua ras dan etnis yang hidup dan membentuk republik. Bukan hanya Komnas HAM yang perlu bergegas, tetapi juga aparat penegak hukum dan seluruh penyelenggara negara menjadikan elemen kesetaraan ras dan etnis sebagai variabel penilai berbagai kebijakan negara.
Kegiatan Diskusi ini diselenggarakan oleh Peaceful Papua Initiative (PPI) dan SETARA Institute, yang bertujuan untuk (1) Promosi penghapusan praktik diskriminasi ras dan etnis dan membangun kesadaran publik tentang bahaya rasisme bagi kebhinekaan Indonesia; (2) Mendorong berbagai elemen penyelenggara negara melakukan upayaupaya penghapusan diskriminasi ras dan etnis dan (3) Menghimpun masukan tentang desain penghapusan diskriminasi ras dan etnis yang berkelanjutan.
Peaceful Papua Initiative (PPI) adalah inisiatif sejumlah organisasi masyarakat sipil dan elemen civil society untuk mendorong penanganan Papua secara damai dengan menjadikan dialog Jakarta-Papua sebagai instrumen penyelesaian konflik di Papua.
Pembicara Diskusi:
1. Charles Honoris (Anggota DPR Rl, Fraksi PDIP Perjuangan)
2. Brigjen Pol. Dedi Prasetyo (Karopenmas Divhumas Polri)
3. Hairansyah (Komisioner Komnas HAM RI)
4. Ninik Rahayu (Anggota Ombudsman HI)
5. Mikael Hilman (Aktivis Muda Papua/Advokat)
6. Bonar Tigor Naipospos (Peneliti Senior SETARA Institute)
Moderator: Halili, Direktur Riset SETARA Institute. (Dheva)